TANGERANG – Publik kembali diguncang oleh terbongkarnya praktik ilegal dalam industri pelumas kendaraan. Pabrik oli palsu berskala besar ditemukan di kawasan industri Cikupa, Kabupaten Tangerang. Delapan tersangka ditangkap dan peran mereka dalam jaringan ini telah dirinci oleh kepolisian.
Namun di balik penangkapan itu, tersingkap pula fakta-fakta mengkhawatirkan: distribusi yang luas, perputaran uang miliaran rupiah, hingga efek domino kerusakan mesin kendaraan di berbagai kota. Artikel ini mengulas lebih dalam skandal oli palsu terbesar yang pernah terbongkar di Banten dan bagaimana semua itu terjadi di tengah keterbatasan pengawasan industri.
Operasi Diam-Diam yang Berujung Gempar

Awal mula terungkapnya kasus ini bermula dari laporan masyarakat yang mencurigai kualitas oli yang digunakan di sejumlah bengkel. Tim dari Ditreskrimsus Polda Metro Jaya kemudian melakukan penelusuran selama dua bulan. Dari situ, mereka menemukan pola distribusi mencurigakan yang mengarah ke sebuah gudang di pinggiran kawasan industri.
“Saat digerebek, gudangnya penuh aktivitas. Ada pekerja sedang menuang oli, menempel label, dan mengemas botol ke dalam karton. Mereka bahkan mengenakan seragam kerja seperti layaknya pabrik legal,” ungkap Direktur Reskrimsus, Kombes Auliansyah Lubis.
Operasi ini berlangsung cepat dan senyap. Delapan orang langsung diborgol, dan seluruh barang bukti – dari mesin, drum, hingga catatan transaksi – disita untuk penyelidikan.
Rantai Bisnis Ilegal yang Rapi dan Terstruktur

Menurut penyidik, jaringan ini bukan pemain baru. Mereka sudah beroperasi lebih dari 20 bulan dan memiliki sistem kerja yang menyerupai industri legal.
Berikut kronologi dan alur bisnis mereka:
- Pengadaan Oli Bekas: Oli dikumpulkan dari bengkel-bengkel, terutama dari kendaraan berat dan truk. Oli ini dibeli dengan harga sangat murah.
- Penyaringan & Penambahan Aditif: Oli disaring menggunakan mesin kasar, lalu ditambahkan zat kimia penambah kekentalan dan pewarna.
- Pengemasan: Oli palsu dituangkan ke botol dengan label yang menyerupai merek terkenal seperti Pertamina, Shell, dan Top 1.
- Distribusi ke Bengkel dan Marketplace: Tim distribusi menyuplai produk ke bengkel tidak resmi di Jabodetabek, serta membuka akun di marketplace online.
Delapan Tersangka, Delapan Simpul Operasi

Pengungkapan peran tiap tersangka menjadi kunci dalam membongkar operasi ini:
- HT (Pemodal Utama): Membiayai pembelian alat dan bahan, menyewa gudang, serta menerima keuntungan utama.
- AS (Ahli Racik): Memiliki pengalaman bekerja di industri pelumas. Ia mencampur bahan dengan rumus hasil eksperimen.
- DW (Produksi): Bertugas mengoperasikan mesin pengisi, mengatur shift kerja, dan kontrol stok harian.
- RE (Desain & Label): Merancang stiker dan mencetak label dengan printer canggih. Mengelola segel palsu yang menyerupai barcode asli.
- TS (Logistik): Bertanggung jawab atas pengiriman drum dan botol ke lokasi produksi.
- YA (Distribusi Wilayah): Mengatur distribusi langsung ke bengkel-bengkel kecil di Tangerang Selatan dan Bekasi.
- MA (E-Commerce): Mengelola akun toko online di beberapa marketplace besar.
- LM (Keuangan Bayangan): Mencuci uang hasil penjualan ke berbagai rekening dummy.
Menurut polisi, mereka bukan sekadar operator. Mereka adalah pelaku terorganisir yang mengerti pasar dan tahu betul cara mengecoh regulasi.
Efek Domino: Konsumen Jadi Korban, Ekonomi Rugi
Konsumen menjadi korban terbesar dari kejahatan ini. Sejumlah pemilik kendaraan yang menggunakan oli dari produk palsu ini mengalami masalah serius pada mesin, mulai dari overheating, knocking, hingga kerusakan permanen.
“Mesin saya mulai ngelitik cuma dua minggu setelah ganti oli. Setelah dibongkar, ternyata olinya berubah warna jadi coklat pekat dan kental seperti lumpur,” ujar Faisal, pemilik bengkel di Karawaci.
Kerugian ekonomi juga tak main-main. Data sementara menyebutkan pabrik ini bisa memproduksi 20 ribu liter oli palsu per bulan. Jika dijual seharga Rp 40.000 per liter, omzetnya bisa mencapai Rp 800 juta–Rp 1,2 miliar per bulan.
Jika aktivitas ini dibiarkan berlanjut, kerugian konsumen dan potensi pencemaran lingkungan akibat limbah oli bisa makin tak terkendali.
Industri Pelumas yang Rentan Disusupi Pemalsuan
Di balik kasus ini, muncul satu pertanyaan besar: mengapa industri pelumas rentan disusupi produk palsu?
Jawabannya sederhana: oli adalah produk dengan bentuk seragam, sulit dibedakan secara visual, dan bisa dikemas ulang dengan mudah. Konsumen yang awam akan kualitas teknis oli cenderung menilai dari harga dan kemasan.
Apalagi, distribusi pelumas di Indonesia tidak seluruhnya diawasi ketat. Banyak bengkel kecil yang membeli oli secara borongan dari distributor tak resmi. Inilah celah yang dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan.
Regulasi dan Pengawasan yang Masih Lemah
Meski telah ada Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan UU Perdagangan, faktanya banyak produk berbahaya masih beredar bebas. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah.
Kementerian Perdagangan menyatakan akan segera menertibkan toko-toko online dan distributor yang menjual oli tanpa izin resmi. Di sisi lain, BPOM juga diminta turun tangan memverifikasi kandungan produk pelumas yang beredar.
“Ini bukan sekadar kejahatan ekonomi, tapi juga kejahatan yang membahayakan keselamatan publik. Kita perlu mekanisme kontrol rantai pasok yang lebih ketat,” kata pengamat otomotif dan industri, Reza Nugraha.
Kampanye Edukasi: Kunci Pencegahan dari Akar Rumput
Penindakan penting, tapi pencegahan tak kalah krusial. Polisi dan komunitas otomotif kini mendorong kampanye publik soal cara membedakan oli asli dan palsu.
Beberapa tips yang dibagikan:
- Lihat harga: Jika harga terlalu murah, patut curiga.
- Cek QR Code atau hologram: Produsen resmi biasanya menyediakan verifikasi digital.
- Perhatikan tekstur dan warna oli saat dituangkan.
- Jangan tergiur promo di marketplace tanpa reputasi jelas.
- Pastikan membeli di toko resmi atau bengkel mitra produsen.
Proses Hukum Masih Berlanjut
Para tersangka kini ditahan di Polda Metro Jaya. Polisi masih mendalami kemungkinan adanya pelaku lain atau jaringan yang lebih besar. Termasuk dugaan bahwa sebagian produk palsu telah masuk ke luar Jawa.
Jika terbukti melanggar Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen dan Pasal 378 KUHP, mereka bisa dijatuhi hukuman hingga 15 tahun penjara dan denda miliaran rupiah.
Satu Kasus yang Menggambarkan Bahaya Sistemik
Kasus oli palsu di Tangerang ini bukan sekadar skandal kriminal. Ini cermin dari lemahnya pengawasan industri, celah distribusi gelap, dan rendahnya literasi konsumen. Dalam situasi seperti ini, semua pihak – pemerintah, pelaku industri, hingga masyarakat – harus bersatu memperkuat ekosistem yang sehat dan aman.
Karena jika kejahatan seperti ini dibiarkan, bukan hanya ekonomi yang dirugikan, tapi juga nyawa manusia di jalanan akibat mesin kendaraan yang rusak karena oli palsu.